Rabu, 15 Juli 2015

Singgah

Siang itu terik menyelimuti lekat menghasilkan jutaan bulir peluh besar-besar jatuh dari dahiku. Hiruk pikuk manusia menjadikan udara di sekitar stasiun menjadi semakin pengap. Selembar tiket kereta api Argo Parahyangan tergenggam lusuh di tangan kananku. Bangku kayu panjang itu kosong, hanya aku seorang duduk di sana menunggu kereta yang akan membawaku pulang ke Bandung. Mereka terlalu sibuk untuk dapat duduk dan menunggu kereta. Terlalu tergesa-gesa untuk sejenak tinggal di stasiun. Ingin cepat-cepat pergi dari sana, menuju pemberhentian selanjutnya. Stasiun memang sudah dari awal ditakdirkan untuk menjadi tempat singgah, bukan tempat tinggal. Ia tidak didesain untuk ditinggali oleh manusia. Dari tempat dudukku, aku berusaha menghitung jumlah kepala yang siang itu memenuhi Stasiun Gambir. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, sepuluh, dua puluh, tiga puluh, sembilan puluh, seratus, seratus tiga puluh lima, seratus tiga puluh enam, ah aku menyerah. Banyak. Banyak sekali manusia yang singgah di sini, dengan berbagai tujuan dan alasan. Ada yang memang menggenggam tiket kereta api, ada pula yang hanya mengantar sanak saudara. Kemudian aku berpikir, sebagai orang yang terbiasa sendiri, alangkah enaknya jadi stasiun. Ia tidak pernah sepi. Selalu ada yang menemani. Stasiun pasti tidak merasa kesepian.
"Itu tidak benar, kawanku. Aku merasa kesepian," aku mendengar stasiun berbisik kepadaku. "Bagaimana mungkin kau dapat merasa kesepian? Lihatlah! Begitu banyak orang memadatimu," sedikit tidak terima karena jika ada yang dinamakan jodoh sudah pasti aku berjodoh dengan sang kesepian. "Ratusan manusia datang dan pergi, namun tidak satu pun dari mereka tinggal," seraya mengatakan demikian, sang stasiun meletakan telapak tangannya di dadaku, "rasakanlah, hatimu adalah sebuah stasiun besar dan megah. Stasiun berkelas dunia yang menyediakan segala rupa kebutuhan para pesinggah. Banyak orang datang, namun tidak ada yang tinggal menetap," aku terkesiap, ia terus melanjutkan ceritanya, rasa hangat mengalir dari dalam dada naik ke pelupuk mata, "tidak perlu kecewa, seindah apapun stasiun, sebuah stasiun tetaplah stasiun. Ia bukanlah rumah tinggal untuk tempat menetap. Kau merasa kesepian. Kau merasa lelah. Lelah berharap akan ada seorang yang berbaik hati mau tinggal menetap di stasiun. Untuk berapa lama? Sehari, dua hari, dan tidak selamanya." Banyak orang silih berganti datang mewarnai kehidupanku, namun mereka hanya singgah dan tidak menetap. Seberapapun besar usahaku membuat mereka nyaman, tetap saja mereka pergi. "Karena hatimu adalah sebuah stasiun," kembali kalimat sang stasiun terdengar di telingaku. "Lalu aku harus bagaimana?" Suaraku hampir tidak terdengar, tercekat duri yang menajam di kerongkonganku. Sang stasiun tersenyum, "tidak ada yang bisa kulakukan, selama kau menjadi stasiun. Stasiun tetaplah stasiun."
Suara parau dari pengeras suara memberitahukan bahwa Kereta Api Argo Parahyangan jurusan Jakarta-Bandung sudah tiba. Aku segera mengemas barang-barangku, memeriksa tiketku, dan beranjak dari kursi kayu. Beranjak dari perbincanganku siang ini. "Sampai jumpa lagi, kawanku," sang stasiun melambaikan tangannya kepadaku, "kelak saat stasiun itu hancur, saat kau berusaha menyusun keping demi keping, susunlah menjadi sebuah rumah. Jangan susun kembali sebuah stasiun. Sehingga kelak akan ada satu orang yang menetap dan tinggal di sana untuk selamanya." Hangat kembali menyeruak di sekujur tubuhku, pengeras suara kembali berdengung, dalam beberapa jam aku kembali pulang. Pulang ke rumah. Setiap kali pulang ke rumah rasa hangat itu menyeruak bermetamorfosis menjadi seulas senyum diantara kedua lesung pipitku. Rasa hangat yang timbul dari dalam, bukan rasa terik yang menyelimuti dari luar, menghasilkan jutaan bulir peluh besar-besar jatuh dari dahiku. Bergegas aku melangkah memasuki gerbong dan menyusuri lorong mencari nomor tempat untuk kududuk. Aku siap pulang. Saat kau berpergian, banyak stasiun kau singgahi satu per satu, kadang kau menetap untuk beberapa saat, bermalam di sana, atau terkadang hanya untuk beberapa menit. Tetapi pada akhirnya, kau akan tetap kembali pulang. Pulang ke rumah. Menetap selamanya.

Perlahan kereta Argo Parahyangan melaju, meninggalkan stasiun.





Reynard Giovanny
14 Juli 2015


untuk AF, yang sedang berpergian.

Kamis, 09 Oktober 2014

Kehilangan



Tak selamanya kehilangan itu buruk. Terkadang, butuh kehilangan terlebih dahulu barulah dapat menghargai. Memang menyakitkan, tapi kehilangan merupakan fase dalam hidup manusia. Setiap orang pasti pernah kehilangan. Tidak terbayangkan apabila Tuhan tidak menciptakan kehilangan, alangkah penuhnya dunia ini. Alangkah penuhnya pikiran ini. Dan alangkah sesaknya hati ini.  Manusia membutuhkan kehilangan.

Seperti kehilangan sebuah gigi, tanpa kita sadari lidah ini akan bergerak ke lubang di gusi yang tadinya duduk dengan kokoh sebuah gigi. Memainkan bekas luka hingga memperpanjang waktu penyembuhan. Ruang mulut sudah terbiasa dengan adanya gigi tersebut, sehingga ketika gigi tersebut dicabut, maka akan ada suasana baru yang aneh dan tidak nyaman sehingga berkali-kali lidah kembali ke sana. Harus melawan keterbiasaan dan rasa nyaman. Harus menciptakan zona nyaman yang baru. Lidah harus diam pada tempatnya, melawan rasa penasaran dan tidak percaya akan kehilangan. Karena apabila terus dimainkan, maka bekas luka akan tidak kunjung sembuh. Sama seperti hati. Ketika kita kehilangan orang yang kita sayangi, maka ada ruang di hati yang turut pergi bersamanya. Yang biasanya ada, menjadi tidak ada. Cukup sulit untuk terbiasa dengan hal itu. Tanpa sadar kita memainkan bekas luka, kembali ke sana dan melihat-lihat, membuat bekas luka itu tak kunjung sembuh. Sehingga pada akhirnya, luka tersebut akan menjadi luka permanen. Tidak seperti gigi yang hilang yang dapat digantikan dengan gigi tiruan, hati yang hilang tidak dapat diganti dengan hati tiruan. Hanya waktu yang dapat menyembuhkan, dan cinta yang mempercepatnya.

Selasa, 07 Oktober 2014

Diam


Ada pepatah yang mengatakan bahwa diam itu emas. Dan untuk mendapatkan sebutir emas, harus ada usaha untuk merengkuh. Tidak semata-mata dipungut begitu saja seperti bunga rapuh. Namun dengan segenap tenaga, ribuan peluh yang terjatuh, atau bahkan kulit yang melepuh. Begitupun dengan diam. Bagi kebanyakan orang, diam itu mudah. Namun bagi segelintir orang yang sedang jatuh cinta, diam itu emas. Butuh usaha besar untuk diam dan usaha yang lebih besar lagi untuk mendiamkan hati yang selalu bicara. Tak selamanya usaha itu mudah. Seperti mencari emas, butuh ribuan peluh terjatuh atau bahkan kulit yang melepuh. Terkadang didiamkan saat jatuh cinta sangatlah menyiksa. Kau lihat aku diam, namun sesungguhnya dalam hati ini ingar-bingar. Terus mendengungkan satu nama ynag diiringi puluhan tanya. Dan sedihnya, terkadang kita harus diam ketika kita mencintai seseorang. Kita harus diam karena mungkin saja ia tidak siap jatuh cinta. Dan seiring berjalannya waktu barulah kita dapat mencintainya sedikit demi sedikit sesuai porsinya. Karena lagi-lagi mungkin saja ia belum siap apabila kita memberikan seluruh cinta kita padanya. Karena hatinya adalah wadah terbatas yang hanya mampu menampung percik demi percik cinta yang kualirkan. Dan lagi-lagi, aku harus diam. Kembali diam hingga ia membeli wadah baru yang lebih besar untuk kuisi kembali.

Oleh karena itu, aku mencoba bersahabat dengan diam. Berusaha diam meski hati terus berteriak. Berusaha diam meski sakit dan lelah. Berusaha diam hingga dia tak juga diam. Dan dalam diam, diam-diam aku berharap, maukah kau membuka sedikit hatimu untuk berbicara?

Selasa, 31 Desember 2013

Perayaan

Baru enam jam kita menjalani tahun 2014. Dan baru enam jam yang lalu masing-masing dari kita merayakan tahun baru.
Perayaan.
Ada yang merayakan tahun baru dengan meniup terompet.
Ada yang merayakan tahun baru dengan membakar kembang api.
Ada yang merayakan tahun baru dengan menonton kembang api.
Ada yang merayakan tahun baru dengan makan bersama.
Ada yang merayakan tahun baru dengan berdoa.
Semuanya sah-sah saja. Namun entah mengapa perayaan identik dengan sesuatu yang ramai. Sesuatu yang ingar-bingar. Perayaan tahun baru baru dikatakan sah apabila merayakannya dengan semarak.
Dan saya merayakannya dengan tidur. Saya memilih tidur.
Dengan semua kejadian dan campur-aduk perasaan, tidur adalah satu-satunya cara untuk berdamai dengan diri sendiri. Saya mau merayakan tahun baru bukan di dunia yang penuh kesedihan ini. Saya merayakannya di alam mimpi. Saya percaya akan mimpi. Saya percaya akan dongeng. Setidaknya, mereka dapat memberi saya kebahagiaan. Mereka dapat memberi saya harapan. Dan juga memberi jutaan anak lainnya kebahagiaan dan harapan.
Bukankah itu yang terpenting yang kita perlukan untuk menjalani tahun 2014?
Kebahagiaan dan harapan?

Selamat tahun baru 2014.

Jumat, 06 Desember 2013

Menulis Rasa

Aku ingin menulis.
Kutuliskan kisah-kisah cintaku
Kutuliskan seluruh perasaanku
Kutuliskan seluruh keinginanku
Yang tak akan pernah bisa kuucapkan, hanya berakhir sebatas harapan. Sebatas doa.
Oleh sebab itu aku suka menulis.
Meskipun tak ada yang membaca
Meskipun tak ada yang memuji
Meskipun tak ada yang mencibir
Dan aku sedang menulis
Untuk dia, untuk aku.
Dan kisah cinta kita yang bahagia
Namun sebatas hitam di atas putih
Karena nyatanya hati ini terasa perih
Mungkin memang aku adalah orang yang bersedih.

7 Desember 2013
(Untitled - Maliq & d'Essentials)

Selasa, 23 Juli 2013

Suatu Senja Tatkala Aku Berbaring

"Kau pernah berbaring di sini."
Aku merentangkan tangan di atas kasur dan meletakannya di dada. Merasakan hangat dan aroma yang tak banyak tersisa dari selembar kain pembungkus dari kasur di kamarku. Kemudian merasakan sesak yang membuncah, mengalir dari telapak tangan merasuki tulang-tulang rusuk hingga kukeluarkan bersama hembusan nafas yang berat. Ku palingkan tubuhku ke arah tembok dan kupejamkan mataku.
"Ya, kau pernah berbaring di sini."

"Dan di sini."




23 Juli 2013
17:46
untuk dia yang tak berani menatap mata.

Kamis, 11 April 2013

Commitment

If you have committed, how far will you go?

Ini bukan kisah cinta. Ia sudah lama pergi. Cinta sudah tak di sini. Tetapi ini tentang komitmen. Komitmen akan sebuah keutuhan hubungan. Cinta memang bisa datang dan pergi tanpa permisi, tetapi tidak dengan komitmen. Meskipun cinta sudah pergi, seberapa jauhkah engkau akan memperjuangkan sebuah komitmen? Memperjuangkan komitmen jauh lebih sulit daripada memperjuangkan cinta. Tetapi memperjuangkan komitmen tidak lagi sulit ketika cinta bersinergi. Sayang ia sudah tak ada di sini. Sehingga kini aku kerja sendiri. Tapi aku akan mencoba dan mencari yang telah pergi, dengan komitmen. Because relationship is about two people. People. Not thing. Manusia bukanlah barang disposable. This is a commitment about love, and a humanity.

Berbicara tentang komitmen, saya teringat akan sebuah buku yang bercerita tentang komitmen. Ditulis oleh Ninit Yunita, sebuah buku yang sangat saya rekomendasikan bagi mereka yang mau berurusan dengan cinta. Karena cinta dan komitmen mungkin adalah satu paket yang tidak pernah kamu ketahui sebelumnya. Ada kutipan yang mampu membuat saya terdiam sejenak,

"Sebagian dari kita mungkin ada yang mencintai seseorang karena keadaan sesaat. Karena dia baik, karena dia pintar, even mungkin karena dia kaya. Tidak pernah terpikir apa jadinya, kalau dia mendadak jahat, mendadak tidak sepintar dulu, atau mendadak miskin. Will you still love them, then? That's why you need commitment. Don't love someone because of what/how/who they are. From now on, start loving someone, because you want to." (Test Pack, Ninit Yunita)