Kamis, 09 Oktober 2014

Kehilangan



Tak selamanya kehilangan itu buruk. Terkadang, butuh kehilangan terlebih dahulu barulah dapat menghargai. Memang menyakitkan, tapi kehilangan merupakan fase dalam hidup manusia. Setiap orang pasti pernah kehilangan. Tidak terbayangkan apabila Tuhan tidak menciptakan kehilangan, alangkah penuhnya dunia ini. Alangkah penuhnya pikiran ini. Dan alangkah sesaknya hati ini.  Manusia membutuhkan kehilangan.

Seperti kehilangan sebuah gigi, tanpa kita sadari lidah ini akan bergerak ke lubang di gusi yang tadinya duduk dengan kokoh sebuah gigi. Memainkan bekas luka hingga memperpanjang waktu penyembuhan. Ruang mulut sudah terbiasa dengan adanya gigi tersebut, sehingga ketika gigi tersebut dicabut, maka akan ada suasana baru yang aneh dan tidak nyaman sehingga berkali-kali lidah kembali ke sana. Harus melawan keterbiasaan dan rasa nyaman. Harus menciptakan zona nyaman yang baru. Lidah harus diam pada tempatnya, melawan rasa penasaran dan tidak percaya akan kehilangan. Karena apabila terus dimainkan, maka bekas luka akan tidak kunjung sembuh. Sama seperti hati. Ketika kita kehilangan orang yang kita sayangi, maka ada ruang di hati yang turut pergi bersamanya. Yang biasanya ada, menjadi tidak ada. Cukup sulit untuk terbiasa dengan hal itu. Tanpa sadar kita memainkan bekas luka, kembali ke sana dan melihat-lihat, membuat bekas luka itu tak kunjung sembuh. Sehingga pada akhirnya, luka tersebut akan menjadi luka permanen. Tidak seperti gigi yang hilang yang dapat digantikan dengan gigi tiruan, hati yang hilang tidak dapat diganti dengan hati tiruan. Hanya waktu yang dapat menyembuhkan, dan cinta yang mempercepatnya.

Selasa, 07 Oktober 2014

Diam


Ada pepatah yang mengatakan bahwa diam itu emas. Dan untuk mendapatkan sebutir emas, harus ada usaha untuk merengkuh. Tidak semata-mata dipungut begitu saja seperti bunga rapuh. Namun dengan segenap tenaga, ribuan peluh yang terjatuh, atau bahkan kulit yang melepuh. Begitupun dengan diam. Bagi kebanyakan orang, diam itu mudah. Namun bagi segelintir orang yang sedang jatuh cinta, diam itu emas. Butuh usaha besar untuk diam dan usaha yang lebih besar lagi untuk mendiamkan hati yang selalu bicara. Tak selamanya usaha itu mudah. Seperti mencari emas, butuh ribuan peluh terjatuh atau bahkan kulit yang melepuh. Terkadang didiamkan saat jatuh cinta sangatlah menyiksa. Kau lihat aku diam, namun sesungguhnya dalam hati ini ingar-bingar. Terus mendengungkan satu nama ynag diiringi puluhan tanya. Dan sedihnya, terkadang kita harus diam ketika kita mencintai seseorang. Kita harus diam karena mungkin saja ia tidak siap jatuh cinta. Dan seiring berjalannya waktu barulah kita dapat mencintainya sedikit demi sedikit sesuai porsinya. Karena lagi-lagi mungkin saja ia belum siap apabila kita memberikan seluruh cinta kita padanya. Karena hatinya adalah wadah terbatas yang hanya mampu menampung percik demi percik cinta yang kualirkan. Dan lagi-lagi, aku harus diam. Kembali diam hingga ia membeli wadah baru yang lebih besar untuk kuisi kembali.

Oleh karena itu, aku mencoba bersahabat dengan diam. Berusaha diam meski hati terus berteriak. Berusaha diam meski sakit dan lelah. Berusaha diam hingga dia tak juga diam. Dan dalam diam, diam-diam aku berharap, maukah kau membuka sedikit hatimu untuk berbicara?