Siang itu terik menyelimuti lekat menghasilkan jutaan bulir
peluh besar-besar jatuh dari dahiku. Hiruk pikuk manusia menjadikan udara di
sekitar stasiun menjadi semakin pengap. Selembar tiket kereta api Argo
Parahyangan tergenggam lusuh di tangan kananku. Bangku kayu panjang itu kosong,
hanya aku seorang duduk di sana menunggu kereta yang akan membawaku pulang ke
Bandung. Mereka terlalu sibuk untuk dapat duduk dan menunggu kereta. Terlalu
tergesa-gesa untuk sejenak tinggal di stasiun. Ingin cepat-cepat pergi dari
sana, menuju pemberhentian selanjutnya. Stasiun memang sudah dari awal
ditakdirkan untuk menjadi tempat singgah, bukan tempat tinggal. Ia tidak
didesain untuk ditinggali oleh manusia. Dari tempat dudukku, aku berusaha
menghitung jumlah kepala yang siang itu memenuhi Stasiun Gambir. Satu, dua,
tiga, empat, lima, enam, sepuluh, dua puluh, tiga puluh, sembilan puluh,
seratus, seratus tiga puluh lima, seratus tiga puluh enam, ah aku menyerah.
Banyak. Banyak sekali manusia yang singgah di sini, dengan berbagai tujuan dan
alasan. Ada yang memang menggenggam tiket kereta api, ada pula yang hanya
mengantar sanak saudara. Kemudian aku berpikir, sebagai orang yang terbiasa
sendiri, alangkah enaknya jadi stasiun. Ia tidak pernah sepi. Selalu ada yang menemani.
Stasiun pasti tidak merasa kesepian.
"Itu tidak benar, kawanku. Aku merasa kesepian,"
aku mendengar stasiun berbisik kepadaku. "Bagaimana mungkin kau dapat
merasa kesepian? Lihatlah! Begitu banyak orang memadatimu," sedikit tidak
terima karena jika ada yang dinamakan jodoh sudah pasti aku berjodoh dengan
sang kesepian. "Ratusan manusia datang dan pergi, namun tidak satu pun
dari mereka tinggal," seraya mengatakan demikian, sang stasiun meletakan
telapak tangannya di dadaku, "rasakanlah, hatimu adalah sebuah stasiun
besar dan megah. Stasiun berkelas dunia yang menyediakan segala rupa kebutuhan
para pesinggah. Banyak orang datang, namun tidak ada yang tinggal
menetap," aku terkesiap, ia terus melanjutkan ceritanya, rasa hangat
mengalir dari dalam dada naik ke pelupuk mata, "tidak perlu kecewa,
seindah apapun stasiun, sebuah stasiun tetaplah stasiun. Ia bukanlah rumah
tinggal untuk tempat menetap. Kau merasa kesepian. Kau merasa lelah. Lelah
berharap akan ada seorang yang berbaik hati mau tinggal menetap di stasiun.
Untuk berapa lama? Sehari, dua hari, dan tidak selamanya." Banyak orang
silih berganti datang mewarnai kehidupanku, namun mereka hanya singgah dan
tidak menetap. Seberapapun besar usahaku membuat mereka nyaman, tetap saja
mereka pergi. "Karena hatimu adalah sebuah stasiun," kembali kalimat
sang stasiun terdengar di telingaku. "Lalu aku harus bagaimana?" Suaraku
hampir tidak terdengar, tercekat duri yang menajam di kerongkonganku. Sang
stasiun tersenyum, "tidak ada yang bisa kulakukan, selama kau menjadi
stasiun. Stasiun tetaplah stasiun."
Suara parau dari pengeras suara memberitahukan bahwa Kereta
Api Argo Parahyangan jurusan Jakarta-Bandung sudah tiba. Aku segera mengemas
barang-barangku, memeriksa tiketku, dan beranjak dari kursi kayu. Beranjak dari
perbincanganku siang ini. "Sampai jumpa lagi, kawanku," sang stasiun
melambaikan tangannya kepadaku, "kelak saat stasiun itu hancur, saat kau
berusaha menyusun keping demi keping, susunlah menjadi sebuah rumah. Jangan
susun kembali sebuah stasiun. Sehingga kelak akan ada satu orang yang menetap
dan tinggal di sana untuk selamanya." Hangat kembali menyeruak di sekujur
tubuhku, pengeras suara kembali berdengung, dalam beberapa jam aku kembali
pulang. Pulang ke rumah. Setiap kali pulang ke rumah rasa hangat itu menyeruak
bermetamorfosis menjadi seulas senyum diantara kedua lesung pipitku. Rasa
hangat yang timbul dari dalam, bukan rasa terik yang menyelimuti dari luar,
menghasilkan jutaan bulir peluh besar-besar jatuh dari dahiku. Bergegas aku
melangkah memasuki gerbong dan menyusuri lorong mencari nomor tempat untuk
kududuk. Aku siap pulang. Saat kau berpergian, banyak stasiun kau singgahi satu
per satu, kadang kau menetap untuk beberapa saat, bermalam di sana, atau
terkadang hanya untuk beberapa menit. Tetapi pada akhirnya, kau akan tetap
kembali pulang. Pulang ke rumah. Menetap selamanya.
Perlahan kereta Argo Parahyangan melaju, meninggalkan
stasiun.
Reynard Giovanny
14 Juli 2015
untuk AF, yang sedang berpergian.